20 Januari 2008

Anti air


Mendengar kata-kata anti air, saya teringat akan tulisan yang tertera pada bungkus (packaging) peci/songkok yang dulu pernah saya miliki. Anti air berarti kalau terkena air tidak bermasalah, tidak akan menyebabkan kerusakan. Lain daripada hal itu, anti air versi saya berarti takut akan air. Bisa takut karena air itu dingin atau takut karena menyebabkan basah.

Beberapa tahun yang lalu saya kerap berkumpul dengan beberapa "komunitas" anti air. Sebenarnya bukan komunitas beneran, karena mereka kebetulan saja sering kumpul dan membicarakan beberapa topik menarik. Biasanya seputar seni atau filosofi kehidupan. Sungguh akan menarik jika memori otak bisa bekerja dengan baik.

Segelas kopi diseruput bersama. Rokok 76 menjadi teman yang setia. Beberapa kertas hasil goresan kuas-kuas lebar sudah digelar. Meskipun hasilnya belum maksimal tapi yang terpenting terlihat meyakinkan. Agar suasana lebih cozy, musik jazz atau rock klasik kita perdengarkan di ruangan itu, melalui kotak kecil ajaib yang kita sebut radio.

Wajah kita kusut-kusut karena sering begadang dan jarang mandi (tapi tidak semuanya). Pasti baunya aneh ya? pasti jarang gosok gigi juga ya? Padahal diantara kami tidak ada yang sakit atau penyakitan kalo kena air. Sengaja aja malas kena air. Kami tidak tahu apakah kami ini disebut seniman atau lebih pantas disebut gembel. Lha wong nggak pernah mandi. Pergi ke kampus pun kami masih acak-acakan. Celana bolong atau kaos oblong menjadi asesoris utamanya. Apalagi kalo ada bekas torehan cat, terlihat semakin mantap kayaknya. Mungkin saat itu pikiran kami masih sempit. Seniman sepertinya diwajibkan berteman dengan dunia yang kotor, kumal, dekil, jorok mungkin, dan sederet istilah-istilah semacamnya.

Saya yang pernah mencoba mengikuti gaya hidup mereka selama beberapa tahun. Alhasil, diri saya merasa aneh sendiri, merasa kurang pas aja. Kelihatannya malah nggak serius, dan tidak meyakinkan di hadapan orang. Ya sudahlah saya coba lagi untuk sedikit melawan arus, dengan bergaya sedikit rapi (bukan berarti trendi). Tapi saat saya bergumul kembali dengan mereka malah saya yang jadi kelihatan tambah aneh. Oalah... bodoh amat saya!! Kapan bisa hidup menjadi diri sendiri dan tidak mengikuti orang lain.

Beberapa tahun kemudian, frekuensi berkumpul dengan calon-calon seniman itu mulai berkurang. Ganti dengan dunia pers kampus. Saya pikir kali ini hidup saya akan berubah dan sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Boro-boro pingin rapi, pingin ke kamar mandi yang bersih aja gak ada. Buhh!!

Tapi sekarang saya sudah berubah lho, he he he...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Seniman, Hmmm....

Tauk deh setau gw kebanyakan orang kalau denger kata "seniman", imagenya lebih kearah dekil, urakan, malas mandi, kotor, gondrong & so pastinya idealisme dijunjung tinggi (kebanyakan sih yang pernah gw liat sih bgt).
soale gw dulu jg kuliah di sebuah institut seni di jakarta. penampilan gw (terutama pas masa2 semester awal) hampir sama dengan ciri2 yang disebutin diatas (kecuali malas mandi ya bo..)+ baju gw selalu contuinity/always black. dan memang sampai sekarang gw kerja di media juga tetap baju item2. (yang nggk item cuma tangan ama muka & leher)----pingin sih pake masker fullface ninja ame sarung tangan hitam cuma nanti dikira digitec ninja lagih?)

(Back to the topic)...tetapi kalau gw perhatikan di area kampus gw ame tempat tongkrongan seniman2 itu baru sadar gw OMG...ternyata banyak juga yang bajunya item2 sm kyk gw)

(Back to the topic 2)...Lambat laun setelah kira2 semester 6) gw perhatikan sekitar gw--yang tadinya gondrong/urakan/nggk mau diatur mulai memperbaiki penampilannya, rambut dicukur rapi, nggk bau lagi, udh mulai berkompromi antara idealisme ame realitas antara perut juga butuh makan ame idealisme karya sehingga muncul byk anggapan antara seniman komersil & seniman idealis. Lama2 terbentuk opini dibanyak seniman2 muda yang baru merilis hidup yang "sebenarnya": biar baju berubah jd gw rapi, rambut gondrong jadi pendek klimis, ngikut dulu jadi"kuli orang" dulu (kl kt anak2 kampus gw) atau yang lebih straightnya "melacur dulu lah". Intinya: kerja komersil dulu lah biar "MAPAN" dulu tetapi di hati kite2 masing2 idealisme seorang seniman masih ketanam kuat en nanti kalau sudah saatnya/'MAPAN" baru deh kite2 unjuk gigi tunjukkin idealisme kita masing2.

So kesimpulan terakhir gw apa yang dikatakan seniman itu ialah dilihat dari KARYA--nya, apa saja yang sudah pernah dihasilkannya yang bisa dinikmati oleh semua/sebagian masyarakat yang "ngeh" & menghargai setiap karya yang dihasilkannya. bukan dengan berpenampilan seperti/mengaku seniman tetapi nggak ada karya sama sekali sebab semua orang bisa berpenampilan seperti seniman ttp nggk semua orang bs menghasilkan sebuah karya atau malah mahakarya. So balik lagi ke idealismenya khan kawan2... bukan penampilannya.