26 Desember 2007

Kaji


Kemarin, rombongan haji kloter pertama dari Semarang sudah kembali ke Tanah air dengan selamat. Selanjutnya jamaah haji ini tidak akan bisa berangkat lagi karena kuota haji hanya sekali seumur hidup. Demikian informasi yang saya dapatkan beberapa minggu yang lalu.

Gelar haji didapatkan oleh seseorang yang telah menunaikan ibadah haji di tanah suci; Mekkah. Sebagian orang menilai gelar itu cukup berat untuk disandang, sehingga mau tidak mau orang tersebut dituntut untuk menjaga segala perilakunya dalam kehidupan sosialnya--supaya nama baiknya tidak tercemar dan dia mendapatkan kemabruran atas ibadah yang telah dilakukan.

Barangkali sudah lumrah terjadi pada kehidupan sosial masyarakat kita, kalau yang kaji (baca: haji) itu laki-laki akan dipanggil abah sedangkan untuk perempuan akan dipanggil Umi'. Percayakah anda bahwa di daerah asal saya ada seseorang yang dipanggil Kaji pindang, Kaji daging, atau kaji-kaji yang lain. Julukan itu muncul begitu saja dari mulut masyarakat setempat yang semata-mata hanya untuk membedakan antara kaji satu dangan kaji yang lain.

Bayangkan, jika dalam 10 deret rumah saja ada empat orang yang sudah kaji. Kira-kira bagaimana cara yang tepat untuk memanggilnya selain dengan cara memberikan identitas, memberikan "embel-embel" sesuai dengan profesi mereka masing-masing. Yaitu embel-embel profesi yang mereka tekuni sampai bisa berangkat ke tanah suci. Mungkin terasa asing memang bagi pendatang yang tinggal di kampung saya, tapi itulah realitanya.

Misalnya; kaji ban berarti mereka bisa berangkat haji dikarenakan sukses dalam pekerjaannya sebagai tambal ban. Kaji sate karena sukses dengan jualan satenya. Kalau yang kaji punya latar belakang bagus sih nggak masalah, masih cukup aman untuk diberi julukan apapun. Tapi kalau yang latar belakangnya kurang bagus gimana dong? Misalnya kaji yang punya banyak kontrakan yang notabenenya dijadikan rumah bordil (tempat palacuran)? kira-kira julukan apa yang pas? anda punya ide?

14 Desember 2007

Toilet Cewek



Jika kamu seorang cowok dan kamu berada di toilet cewek--di kantor tempat kamu bekerja, saat jam kerja sudah selesai (malam hari). Apa yang akan kamu lakukan? (Sungguh pertanyaan aneh dan tidak penting dipertanyakan). Gini, biar saya coba jawab sendiri aja yak?!!

Kalau saya seorang arsitek, saya akan memperhatikan dan mempelajari dimanakah letak perbedaan antara desain ruangan toilet cowok dan cewek. Misalnya; Ruangan harus dirancang sedemikian rupa supaya orang yang masuk merasa nyaman dan betah berlama-lama. Cewek suka berdandan, maka kaca besar dan lampu yang terang perlu disediakan. Kebersihan dapat diciptakan dari warna cat atau wallpaper yang melekat pada dinding.

Kalau saya seorang tukang pembersih, saya akan menutup mata dan menahan napas untuk beberapa detik. Pasalnya, saya tahu bahwa di kotak itu isinya pasti banyak pembalut wanita habis dipakai. Bisa membayangkan aromanya? Weleh-weleh…


Kalau saya adalah si tangan panjang
, maka saya akan mencari barang yang masih bisa dimanfaatkan. Mungkin di sudut ruangan ada barang-barang yang ketinggalan. Atau minimal dapat tisu gulungan buat pelengkap kamar kos-kosan.

Dan, kalau saya seorang Presiden Direktur atau orang yang menduduki posisi strategis di perusahaan, maka saya akan segera keluar dari toilet cewek dan mencari toilet cowok meskipun terpaksa harus mengantri—seperti biasa. Saya khawatir ketahuan orang lain dan disangka ada yang tidak beres dengan diri saya. He he he

Tulisan di atas hanya kreatifitas saya belaka, mohon maaf jika ada kesamaan kejadian dengan pengalaman pribadi anda. Hehehe

10 Desember 2007

Kebebasan

Udah pada tahu kan kalo di Nusa Dua, Bali, bulan Desember ini sedang diselenggarakan UNFCCC (United Nations for Climate Cahnge Conference)? Disana sedang seru-serunya membahas isu pemanasan global dan bagaimana mengatasinya. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, sekumpulan mahasiswa di Jakarta, beberapa hari kemarin, justru sedang berkumpul untuk mengkritisinya; "jangan-jangan apa yang sedang dilakukan oleh mereka di Bali hanya bualan belaka dan tidak ada tindakan nyata". Kurang lebihnya mungkin seperti itu.

Memang enak jadi mahasiswa di jaman sekarang, bisa meneriakkan gagasan yang mengganggu pemikiran kita. Nggak kayak saat jaman orde baru yang sangat membelenggu kebebasan kita. Orang mau bergerak sedikit sudah disikut, mau berbicara sedikit sudah disumpal, apalagi mau melawan. Sudah berani ya sama yang petugas yang megang senapan? Itu sih dulu..., padahal itu benar-benar melanggar hak asasi manusia.

Hari ini kita bebas meluapkan ekspresi asal tahu aturan dan etikanya. Ekspresi yang dimaksud adalah kebebasan untuk mengkritisi segala kebijakan yang dilakukan oleh birokrasi. Tidak perlu takut sama aparat, tidak perlu pake topeng atau bersembunyi di belakang serambi. Nggak usah malu untuk berkata tidak. Kebebasan itu bisa kita wujudkan dalam bentuk aksi nyata, misalnya unjuk rasa, melalui aktifitas menulis di media, buku, blog (seperti sekarang ini), atau melalui aktifitas berkesenian, kampanye dan sebagainya.

Sebagai masyarakat Timur, mungkin kita akan sangat malu kalo unjuk rasa dengan cara telanjang. Di Indonesia secara umum, cara seperti ini mungkin akan dianggap aneh (baca: gila) oleh masyarakat awam, bahkan mungkin aparat tidak segan-segan akan segera menindak. Tapi, kalo di Bali--karena di sana banyak warga asing yang berwisata--justru sudah terjadi. Banyak bule yang ikut aksi mengusung isu global warming dengan mengenakan pakaian pantai yaitu bikini. Lha iyalah, orang mereka sedang ada di pantai. He he he..., Ratusan orang berdiri melingkar membentuk bumi dunia. Kebetulan saya sempat melihat fotonya yang diambil dari atas (mungkin yang motret saat itu naik pesawat terbang).

So what?? jangan siksa diri kita memendam semua rasa; gara-gara nggak sependapat dengan orang lain. "Luapkan semuanya dan angkat tangan kiri kita!!". Simbol bahwa kita melakukan perlawanan. Kalo jiwa perlawanan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, niscaya kita terbiasa untuk bersikap kritis dan analitis.

Di beberapa lokasi dekat tempat saya bekerja terpasang spanduk KPK yang berisikan himbauan agar kita melaporkan jika terjadi tindak korupsi. Pemerintahan sekarang begitu semangat untuk mengajak segenap masyarakat--memberangus korupsi dengan mengajak aktif warga Ibukota pada khususnya. Upaya yang bagus untuk saat ini. Rupanya birokrasi sudah berani untuk ditelanjangi sendiri. Sampai kapan?

04 Desember 2007

Nama anak seorang desainer

Ada cerita di sebuah milis--yang sampai sekarang saya ikuti. Ada seorang desainer grafis yang mempunyai dua anak. Nama mereka diambil dari keseharian seorang Bapaknya yang notabenenya sebagai desainer, misalnya tentang hal-hal yagn berhubungan dengan warna, huruf, atau komputer. Anak pertama dia kasi nama Magenta. Anak kedua dikasi nama Cyanta. Dan anak ketiga dia nanya ke forum. "kira-kira nama yang bagus apa ya?", dia bilang gitu.

Dalam forum itu banyak sekali orang yang mengusulkan. Diantaranya adalah:
(1) Kalo cewek kasi nama Cahyani Menik Yuliani Kusumawarni (CMYK), kalo cowok bisa Raden Gusti Babon (RGB)
(2) Apple aja.
(3) Jangan apple, kesannya aneh. Gimana kalo Intel aja
(4) Namanya Control Zet ajah, biar dia selalu bisa retropeksi dan memperbaiki kesalahan
(5) Biar terkesan abadi gimana kalo kasi nama Arial atau helvetica?

tapi ada salah satu orang yang sedikit khawatir, ntar malah anaknya kalo udah gede malu dapat nama yang aneh.
(6) Mending pake bahasa yang diambil dari sansekerta aja yang konon bagus-bagus. Misalnya Jagat Dewandaru..., Mahendra Dewa..., Sekar Arum ..., Tosan Aji... dsb

Saya juga tidak mau kalah, kemudian saya mengusulkan...
(7) Kasi nama "Mail". kependekan dari Ismail. Kalo emang dapet yang cowok sih. Ismail kan nama yang bagus. Kayak nama nabi

he he he