28 Februari 2008

Lifestyle itu Dangdut


Tadi sore saya mengikuti sebuah forum. Bahasa populer barangkali meeting. Bagi saya forum seperti ini baru yang ketiga kalinya selama saya bekerja di sini. Dalam forum tersebut dihadiri oleh empat orang yang expert dalam bidangnya masing-masing. Ada yang jago di kartun, jago di layout, jago di desain, dan jago di komposisi warna. Pokoknya mereka semua adalah orang yang sudah cukup tinggi jam terbangnya di bidang artistik media. Tapi saya kok justru lupa nama-nama mereka ya? Ah sudahlah.

Gara-gara ada acara ini, saya harus berangkat delapan jam lebih awal dari jam kerja. Untung kemarin sudah cukup istirahatnya. Sampai sholat subuh saya ketinggalan saking nyenyak tidurnya. Padahal acaranya itu cuma sekitar tiga jam saja. Habis itu tahu nggak ngapain saya?? ya tidur lagi lah. Saya cari tempat yang nyaman buat istirahat.

Back to the topic. Dalam forum itu kita membahas bagaimana tampilan media cetak (baca: koran) kita supaya ke depannya bisa tampil lebih baik. Tujuannya satu, untuk menarik pembaca sebanyak-banyaknya. Kongkret, diskusi mengenai artistik (perwajahan dan ilustrasi) menjadi pembicaraan yang panas. Halaman demi halaman dibedah, mirip ujian skripsi saya saja.

Saya termasuk orang yang ketagihan bertanya, karena peserta yang terdiri dari ilustrator, layouter dan beberapa jabatan lain hanya dapat kesempatan bertanya cuma satu kali. Bertanya bukan berarti goblok kan?? Awalnya sih, saya rada grogi berhadapan dengan orang-orang seperti mereka. "Halah!! orang sama-sama makan nasi putih aja kok, kenapa harus takut" pikir saya. Saya bertanya kepada pembicara masalah ilustrasi yang dicetak hitam putih, dan sedikit permasalahan teknis yang terkait.

Pak Priyanto, kartunis tempo yang juga menjadi salah satu pembicara mengatakan kurang lebih demikian, "kalo berbicara soal kartun, sampai sekarang saya masih suka dengan yang hitam putih karena tidak terlalu banyak permainan disana. Lebih sederhana lah tapi tetap utuh subtansinya. Menyikapi industri percetakan yang berkembang dewasa ini, kita mau nggak mau dituntut untuk bisa juga membuat kartun yang berwarna".

Lain dengan Pak Pri, salah satu pembicara saat itu menanggapi halaman hitam putih untuk ilustrasi infografis. Dia mengatakan "Justru saya suka kalo infografis ini dibuat hitam putih, kalau halaman periskop dibuat berwarna seperti lifestyle ntar jadi dangdut dong. Warna warni gitu. Jadi per halaman tidak bisa kita perlakukan sama.

Hmmm, saya jadi banyak belajar dari forum itu. Tapi kok tadi nggak dapat makan siang yak??! laper nih...

24 Februari 2008

Komunikasikan pada Komunikan



Sebuah stiker kecil menempel di lemari. Beberapa kata terangkai indah dalam sebuah pesan moral berbunyi kurang lebih demikian; "kulumlah kata-katamu sebelum kamu mengatakan sesuatu". Saya terhenyak, serentak diam sejenak. "Sepertinya benar juga ya kalimat ini", bisik saya dalam hati.

Saya lalu berniat untuk belajar dari kalimat ini. Tidak jarang kesalahan muncul dari mulut saya, baik spontan atau akibat letupan emosional. Kurangnya kontrol diri dan pikiran jernih terkadang menimbulkan "iritasi hati". Kebohongan putih keluar sedikit demi sedikit. Menipu tapi tidak menipu. Apa itu?

Saya bukan anak mami yang hidup dalam kemapanan, bergelimangan harta. Pikiran saya suka berontak dan keluar dari kebiasaan. Saya sadar terhadap pilihan hidup seperti ini. Tidak kecil resiko yang harus saya terima nantinya, karena berbeda dengan konsep hidup orang lain. Apakah ini akibat saya sering kumpul dan menerima banyak pemikiran saat dulu masih tinggal di kota hujan? saya tidak tahu pastinya. Tapi saya tahu bahwa menerapkan hidup idealis saat ini belum cocok bagi saya.

Pernah saya mengidentifikasi siapa diri saya sebenarnya. Semakin dicari rasanya semakin tidak karuan hasilnya. Mungkin karena beban pikiran akibat medan hidup yang terjal dan rintangan yang selalu menghadang. Contohnya tempo hari; saat saya memutuskan untuk segera menyelesaikan studi saya. "Berani diwisuda berarti berani jadi pengangguran", begitu kata teman-teman saya. Sedikit menakutkan memang menyandang gelar sarjana. Ada beban moral, karena mau tidak mau kita nantinya harus siap terjun dan menghadapi masyarakat yang plural. Banyak pemikiran dan pola hidup yang sangat berbeda dengan kita saat hidup di lingkungan akademis. Seperti terlahir kembali. Semakin bodoh rasanya setelah menjadi sarjana.

Apa yang saya dapatkan kemarin saat masih belajar di kampus yang dekat dengan Hugo's Cafe itu? Belajar gaul dengan dunia malam kah? atau belajar berkomunikasi dan menyampaikan pendapat kepada orang lain? bah... naif sekali ya hasilnya. Itu mungkin sebagian kecil saja. Tapi yang jelas saya tidak akan pernah berhenti belajar sampai dirasa siap menghadap Tuhan. Kapan itu? besok atau lusa tidak tahu saya.

Langkah hidup akan saya coba tata rapi kembali. Kemana saya akan pergi? untuk apa saya berbuat dan berkehendak? untuk siapa saya hidup? Baiklah, sepertinya bakal ada prosesi panjang saat kontemplasi nanti

20 Februari 2008

Mas Fidel Mundur


Fidel Castro mengundurkan diri? Pemimpin yang sudah berusia 81 tahun ini menyatakan mundur (19/2) dengan alasan untuk memberikan kesempatan kepada pemimpin yang lebih muda. Mas Fidel bagi saya adalah salah satu tokoh revolusioner Kuba yang saya kagumi selain Che Guevara.

Seandainya Che Guevara tahu bahwa hari itu Mas Fidel mengundurkan diri gimana ya? Kalo emang sudah ada pengganti yang tepat barangkali Che bisa memakluminya. Toh, beliau memimpin Kuba juga hampir setengah abad. Mungkinkah kaos-kaos bergambar Fidel Castor bakal marak seperti kaos Che Guevara itu?

Fenomena-fenomena yang menggemparkan dunia seperti inilah yang biasanya dinanti oleh kartunis. Mereka mengabadikannya berita dengan kartun atau karikatur. Termasuk tragedi serangan terhadap Bhutto, atau kematian Soeharto kemarin. Goresan-goresan yang mereka buat seolah ingin mengatakan bahwa inilah fakta yang harus disaksikan untuk anak cucunya.

15 Februari 2008

Nabi Jadi Kartun (lagi)


Blog sebelumnya saya berbicara masalah kebebasan dan kreatifitas seorang ilustrator. Saya cukup senang karena dari sekian tanggapan, hampir tidak ada bloggers yang menanggapinya dengan guyonan, mereka semua menulis dengan suara hatinya sehingga tiap kata sarat akan makna.

Oke, sekarang saya ingin menceritakan sebuah peristiwa dimana dua hari yang lalu saya mendapatkan berita dari detikcom; Nabi umat muslim (Muhammad) dikartunkan lagi. Kartun tersebut menggambarkan wajah Nabi (yang tampak beringas) dengan memakai sorban berbentuk bom. Dalam sorban itu ada tulisan laa ilaaha illallah Muhammadar Rasulullah. Peristiwa ini terjadi di Denmark, di belahan Eropa sana. Saya belum pernah sih main kesana.

Kontroversi ini sebenarnya sudah pernah terjadi dua tahun silam dimana Nabi saat itu digambarkan terbakar di Neraka. Astaghfirullahal 'adim. Kontan saja fenomena ini membuat umat muslim di penjuru dunia marah. Mereka tidak terima atas perbuatan yang dianggap sangat menghina ini.

Berlingske Tidende, sebuah surat kabar di Denmark yang berani memanaskan kembali kaum muslim kali ini mengatakan bahwa mereka ingin membuktikan bahwa tindakan ini adalah wujud daripada kebebasan berbicara (terbitan rabu, 13 feb 2008). Mantap betul!! Kalo kayak gini belum ada di Indonesia. Di belahan dunia yang lain demi menjunjung tinggi kebebasan berbicara seseorang bisa saja berunjuk rasa dengan bertelanjang bulat sambil membawa poster atau dengan melukis tubuhnya dengan pesan-pesan moral. Tidak satu atau dua orang saja, ribuan orang bisa mereka kumpulkan. Hi hi hi, gondal-gandul anunya... he he.. Mak serr!!

Baik. kita kembali pada pokok bahasan. Saya jadi teringat saat seorang ustadz pernah mengatakan demikian, "Gak entuk nggambar wajahe Nabi, opo meneh awak e. Delo' en ae nang buku-buku crito, Nabi mesti gak diketokno. Paling-paling bentuk-e cuma' cahaya tok" (tidak boleh menggambar wajahnya Nabi, apalagi seluruh badannya. Lihat saja di buku-buku cerita, sosok Nabi selalu tidak ditampilkan. Kecuali hanya sebuah cahaya saja".

07 Februari 2008

Ilustrator, Kebebasan dan Kreatifitas


Pagi ini setelah browsing ke blog teman-teman, saya dapat link situs ke majalah TEMPO. Saya masuk aja kesana. Ada pembicaraan hangat seputar cover Majalah Tempo edisi terbaru, yang terbit tanggal 10 februari 2008 besok. Pada sampul itu menggambarkan Soeharto dan anak-anaknya sedang makan bersama untuk terakhir kalinya (tampak piring dan mangkuk kosong tidak ada isinya). Gambar itu mirip lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci.

Akibat dari sampul ini, sejumlah orang dari perwakilan katolik datang ke redaksi untuk meminta penjelasan, sedangkan Persatuan Pelajar (Mahasiswa) Indonesia di India ikut protes dan meramaikan via milis.

Bukan permasalahan saya ikut protes atau tidak, tapi saya melihat disini betapa kita sebagai bangsa Indonesia mudah sekali untuk gusar (atau brutal) saat melihat kebebasan pers itu sendiri. Katanya demi memperjuangkan kebebasan saja sudah mati-matian. Lha kok sekarang ada majalah dengan sampul seperti itu saja sudah dibawa ke hal-hal yang serius?

Saya pikir itu bukan hal yang penting untuk diperdebatkan. Ayo kita perbincangkan ramai-ramai perihal kreatifitas dan proses pembuatan di balik itu. Ada lagi yang bilang katanya itu membajak karya Kang Da Vinci. Mana mungkin? itu namanya terinspirasi, bukan membajak. Emang DVD bajakan?

Membuat sebuah cover itu butuh waktu lama lho. Tidak gampang. Desainer atau illustrator harus menggali ide banyak, melakukan diskusi dengan para ahli, melakukan penelitian (jika dirasa perlu). Jadi, karya sampul di sini saya pikir termasuk karya seni. Fungsinya selain untuk memperindah sebuah media juga untuk menarik calon pembeli nantinya. Lha kalau kebebasan saja masih dikekang, gimana nasib ilustrator nantinya?

Sampul tersebut menurut saya tidak menyinggung isu agama (maaf sebelumnya). Karena sama sekali beda dengan apa yang digambarkan sama Kang Da Vinci dengan The Last Suppernya. Mirip? mungkin iya. Tapi justru menarik. Sungguh-sungguh menarik.

04 Februari 2008

MUSIMNYA MESUM, TERKENAL LALU TERCEMAR


Semakin banyak orang memajang foto mereka yang lagi mesum dengan orang lain lalu mempublikasikannya di internet. Tidak hanya orang kaya saja yang bisa melakukan adegan seperti ini, karena kita tahu modalnya tidak terlalu besar. Cukup dengan HP berkamera saja, mereka sudah bisa jadi calon orang terkenal sekaligus tercemar.

Hati-hati kalo sedang berduaan di kamar orang. Siapa tahu sudah disiapkan kamera yang disembunyikan di tempat samar--sudut kamar. Atau kaca (cermin) yang justru tembus pandang yang artinya di balik kaca itu seseorang bisa mengintai kita. Waspada juga saat berada di toilet. Jangan-jangan disana sudah dipasang kamera supermini yang siap mengintai.

Sengaja atau tidak sengaja, pelaku dan atau korban akan jadi bulan-bulanan, jadi bahan pembicaraan banyak orang. Kalo sampean artis sih nggak masalah (karena artis sudah biasa digosipin). Maka dari itu hentikan perbuatan mesum dan menyebarluaskan foto sampean ke internet. Saya kira (tidak ada atau mungkin) lebih sedikit untungnya daripada kerugiannya. Emang mau pamer kalo punya payudara besar atau penis panjang? Mau pamer kalo badannya kekar, atau tubuhnya langsing? atau kulit yang mulus? Lha kalau sampean terkenal tapi hidup di tahanan gimana?

Pernah nggak kepikiran bahwa pelaku ini adalah salah satu orang yang menderita eksibisionisme, yaitu mereka yang butuh pengakuan dari orang lain atas eksistensi dirinya dengan cara memperlihatkan "fisik" nya dihadapan orang lain. Barangkali bisa juga iya. Banyak media yang telah memfasilitasi kelompok ini misalnya terbitnya beberapa majalah dewasa, munculnya koran-koran "kuning", dan tidak ketinggalan; internet, dunia maya yang bisa diakses bebas tanpa batas.

Setahu saya kemunculan "Friendster" di internet dinilai sangat bermanfaat. Terutama untuk mereka (yang masih mengaku) anak muda yang ingin mempunyai banyak teman atau mereka yang ingin mencari teman "pasangan". Lambat laun posisi "Friendster" semakin tergeser setelah munculnya "Myplace". Disana, fiturnya yang disediakan lebih banyak. Bagi yang sudah terdaftar tidak hanya bisa majang foto atau karyanya, tapi juga bisa mengupload musik hasil karyanya dan diperdengarkan di seluruh dunia. Hebat, bukan? Ada juga yang serupa misalnya "Multiply" dan seterusnya.

Saya tidak ingin membahas friendster atau sejenisnya. Tapi tulisan saya kali ini hendak mengulas sedikit tentang eksibiosinisme itu sendiri. Eksibisionisme adalah tindakan untuk memperlihatkan kemaluannya kepada orang lain. Saya sempat diskusi dengan seseorang yang lebih paham tentang masalah ini, modus operandi pengidap eksibisionisme ada beberapa macam; misalnya berjalan mengikuti si korban lalu menerobos kerumunan itu mereka sembari menunjukkan kemaluannya. Cara yang lain misalnya bersembunyi di balik sesuatu lalu mengagetkan mereka sambil telanjang. Semakin takut atau semakin kencang teriakan korban maka penderita semakin mendapat kepuasan seksual. Saya juga pernah mendengar (entah dari mana sumbernya saya lupa) ada seorang korban (perempuan) yang kesal gara-gara pas berdesak-desakan di keramaian pantatnya di sundul-sundul sama penis orang tak dikenal. Bisa ngebayangin nggak gimana rasanya?

Tapi kali ini beda, entah ini masuk dalam pengidap penyakit psikologi atau bukan (padahal lebih parah lagi). Mereka menunjukkan kemaluannya di seluruh dunia dengan berbagai media. Sebut saja internet. Di salah satu situs forum yang katanya terbesar di Indonesia justru malah menyediakan semua kebutuhan pengangkat syahwat. Adegan mesum ada banyak, mulai pelajar sampai yang sepuh, foto-foto nakal apalagi, justru terlalu banyak. So what?! Bukan berarti saya merekomendasikan sampean lho.

Hemat saya, untuk mencintai diri sendiri tidak perlu berlebihan, apalagi sampai dalam tindakan amoral kayak "animal" (baca: mempublikasikan ke internet). Cara seperti ini justru tidak bisa dijadikan alasan untuk bersyukur kepada Tuhan. Kalo sudah diberikan tubuh yang indah ya sudah dijaga saja, tidak perlu digratiskan ke orang lain. karena justru martabat sampean malah jatuh. Mau minggat kemana kalau ini sudah terjadi? Mau ngaku dan minta maaf ke seluruh media? kayak kasus Menteri Kesehatan Malaysia, Chua Soi Lek atau lebih akrab dipanggil Mr. Chou itu?

02 Februari 2008

Lima Puluh Dua Persen

52%How Addicted to Blogging Are You?



Waduh...
Mas Anton sudah kecanduan blog lima puluh dua persen nih!!
Kalo kamu berapa? penasaran nggak? klik aja http://www.justsayhi.com/bb/blog_addiction

01 Februari 2008

Ujaran dari Kang Plato


Saat itu lagi santai, duduk di sofa empuk ruangan resepsionis. Suasana sepi sekali. Tidak ada lagi bunyi klak-klik mouse atau klotak-klotak keyboard seperti beberapa menit tadi. Sebuah koran edisi senin (dua hari yang lalu) tampak tidak rapi di raknya. Sebagian halaman sudah hilang. Saya kemudian mengambilnya. Sekedar ingin melihat karya saya kalau toh masih ada.

Pada halaman depan ada quote Plato, seorang filsuf dari Yunani. Dia mengatakan: seorang pahlawan terlahir dari seratus orang. Orang bijak terlahir dari seribu orang. Orang begawan mungkin terlahir dari seratus ribu orang.

Suasana sunyi tanpa bunyi momen yang pas untuk merenung sejenak. Berkontemplasi bak orang suci. Merenungkan apa yang diucap oleh Kang Plato. "Iya ya, kayaknya jaman gini jarang sekali kita temukan orang yang bijak. "Memang sih no body's perfect", ucap saya dalam hati.

Halaman demi halaman saya buka. Mata ini sepertinya mau mencari tulisan (yang) ringan-ringan aja. Pilihan saya jatuh pada surat pembaca. Ada seseorang yang menuliskan kekecewaannya. Dia adalah korban asuransi terkenal dan katanya profesional bernama Prudential. Kasihan banget itu orang. Sudah mengajukan biaya operasi, tapi malah dipersulit. Uang dua juta lebih yang seharusnya dia terima terpaksa harus tertunda. Dia menuliskan dalam bahasa sentilannya yang (mungkin) cukup nendang. "Katanya perusahaan besar, kok malah gak profesional".

Rasanya nasib penulis surat pembaca itu ada kemiripan dengan banyak orang. Misalnya pengalaman teman saya yang juga bekerja di perusahaan besar. Perusahaan media tepatnya. Sudah sekian tahun dia bekerja disana, cukup berjasa (besar) demi cantiknya halaman depan sebuah koran harian. Bayangin aja, Bo! Gajinya tak kunjung naik. Statusnya juga gak tambah baik. Pekerjaan baru semakin menumpuk di atas meja kerja. Badan yang sudah lemah lunglai seperti mau remuk.

Sebenarnya nasib saya juga gitu sih. Tidak jauh dari dia. Sama-sama seorang ilustrator yang ngantor tiap sore dan dan pulang pagi gara-gara belum ada motor. Hiks...!! hiks..., seandainya saja ada orang bijak seperti yang dimaksud Kang Plato itu ada. Tentu tidak tega membiarkan buruhnya bekerja susah payah tanpa upah. Wahai orang kaya...., how could you do this to me?? Apa nggak ada sedikit vitamin untuk kita??

Jadi, jangan berpikiran bahwa kerja di perusahaan besar atau orang kantoran itu gajinya pasti besar. Dari tampilan luar sih memang kelihatan keren. Kemeja disetrika licin, pas dengan tubuhnya yang berbidang. Celana bahan dipadan dengan sepatu pantofel hitam mengkilat. Rambut disisir rapi atau sedikit mohawk. Sudah keren kayak gini? pingin disebut pria metoseksual? Waduuh..., di tempat kerja saya (maaf sebelumnya) OB bisa kayak gini. Berondong lagi...

Nggak usah bangga bekerja di perusahaan besar. Toh kita tetap jadi kecil. Begitu ditendang sedikit kita sudah bukan apa-apa lagi. Tambah susah kan?? Biar lebih enak menjalani kehidupan mari kita bercinta sama Tuhan tiap malam. Kata orang pintar sih gitu.