Saya menginjakkan kaki ke Ibukota pada tanggal 24 Oktober 2007. Tanggal itu saya simpan rapi dalam catatan khusus di HP. Tujuannya cuma satu, supaya bisa diingat saja. Kalau beberapa bulan yang lalu saya ke Jakarta bersama seorang teman, sekarang saya memberanikan diri berangkat sendirian. Awalnya sih ada sedikit rasa-rasa khawatir saat perjalanan. Maklum saja, saya naik kereta ekonomi yang terkenal banyak penumpang dan juga pencopetnya. Apalagi saat itu pasca lebaran. Dari arah timur banyak yang menuju ke Barat.
Misi saya kali ini untuk adalah untuk bekerja--mencari nafkah. Sambil mencari informasi dan mencari pencerahan untuk masa depan saya. Barangkali banyak orang yang awalnya berpikiran sama seperti saya. Nekat ke Jakarta untuk menggapai cita-citanya. Hal yang sangat disayangkan adalah banyak orang awam datang ke Ibukota tanpa modal skill. Sehingga banyak mereka yang menjadi korban dan akhirnya hidup di jalanan. Di pinggiran kota atau di tempat-tempat yang menurut saya kurang manusiawi. Saya sepakat kalau Pemerintah membawa pulang mereka ke kampung halamannya. Mencari nafkah tidak harus mengorbankan harga diri, bukan?
Jakarta bagi pendatang adalah Surga sekaligus Neraka Dunia. Mengapa demikian? karena di Jakarta semuanya ada. Semuanya tersedia. Mulai dari yang baik sampai yang buruk pun semuanya ada di sini. Uang satu juta tidak ada artinya sama sekali. Mungkin hanya cukup untuk beberapa hari saja. Untung saya masih ada saudara dan beberapa teman yang bisa ditumpangi untuk sementara waktu. Kemudian mengapa disebut Neraka?? karena gaya hidup masyarakat Urban bisa dikatakan cukup kejam dan keterlaluan. Mereka sangat mencintai kehidupan dunia dan menghambur-hamburkan hartanya. Padahal sudah tahu kalo cari duit itu susahnya minta ampun. Kesenjangan sosial, cuek dengan orang-orang sekitar mudah sekali saya temukan. Beda sekali dengan masyarakat kampung. Saling menjatuhkan, mendepak, atau menjatuhkan orang lain barangkali juga sudah menjadi makanan sehari-hari bagi sebagian orang lain.
Sudah tiga minggu lebih saya ada di Jakarta. Baru sempat sekarang posting di blog. Bukannya gak sempat sih, cuma lupa aja kalau saya punya blog. Hehehe..., masalahnya kalau sudah ada di depan internet banyak hal yang ingin dibuka. Ya cari informasi lah, kirim email lah, atau sekedar browsing aja. Oke, kita kembali lagi pada permasalahan di atas.
Saya tidak tahu berapa populasi penduduk asli Jakarta dan berapa yangmenyandang status pendatang (seperti saya), baik itu yang mempunyai KTP atau belum/tidak mempunyai identitas sama sekali. Saya belum mendapatkan informasinya.
Sebagai seorang pendatang baru, tentu banyak aturan baru yang harus diketahui oleh pendatang (baik itu tertulis maupun tak tertulis). Untuk mengetahui apa saja kita bisa bertanya dan mencari informasi melalui orang yang bisa dipercaya. Jangan asal bertanya, karena akan dianggap bak keledai bodoh yang gampang sekali dipermainkan. Bisa jadi ditipu atau dijadikan korban kejahatan. Para pendatang itu berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Tapi di lingkungan tempat saya bekerja, yang paling sering saya temui justru dari daerah saya sendiri. Orang Jakarta menyebutnya dengan istilah "Jawa". Bukan orang Surabaya, Orang Semarang atau orang Jogja. Awalnya saya heran dengan istilah yang mereka pakai. Bukankah mereka (baca: orang Jakarta) juga hidup di Pulau Jawa? Ternyata dalam benak mereka, orang Jawa yang dimaksud adalah mereka yang berasal dari suku Jawa. Bisa jadi itu orang Gresik, Bojonegoro, Purbalingga, atau Tegal dan sebagainya. Dan selain suku Jawa bisa jadi suku Sunda, Madura, Betawi, Batak dan lain-lain.
Pedagang keliling yang menjajakan makanan dengan gerobak dorongnya kebanyakan berasal dari "Jawa". Entah apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Apakah mungkin karena populasinya memang paling banyak? saya tidak tahu. Mereka menjualnya mulai pagi hingga malam. Dimana-mana dengan mudah ditemukan. Ada nasi goreng, ketoprak, lontong/ketupat sayur, soto, sate, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Jangan tanya berapa harganya, karena di Jakarta bisa naik dua kali lipat. Mungkin dari situlah mereka mendapatkan banyak keuntungan, bisa memberi nafkah anak istrinya di kampung halamannya dan memberikan kabar kepada tetangga bahwa dirinya sukses di Jakarta. Apa yang terjadi kemudian? Satu persatu saudaranya diajak mengadu nasib di Ibukota, hingga menyusul tetangga kiri kanannya. Niatnya sih cuma ingin membantu, atau sekedar memberikan jalan keluar untuk memperbaiki ekonominya. Hingga satu kampung jumlah penduduk mulai berkurang, lalu ramai lagi di saat menjelang lebaran. Semua itu demi mengejar materi di Jakarta.
Jakarta, Ibukota Indonesia yang tidak pernah tidur. Sungguh sedih saya melihatnya. Akankah walikota Jakarta--yang baru beberapa bulan yang lalu terpilih--mempunyai solusi cantik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang kian panjang dan tiada ujungnya ini? Tentunya dukungan dan partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu kelancaran programnya. Kemiskinan, kemacetan dan banjir adalah masalah kita bersama. Kalau saya tidak bisa memberikan yang terbaik untuk Jakarta lebih baik saya pulang kampung dan menciptkan lapangan kerja di sana saja. Semoga!!
15 November 2007
Jakarta Kota Siapa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
jakarta..jakarta...puihhhhh, gue jenuh tinggal disana kalo macet dan macet tetap ada.
Posting Komentar